Pages

Subscribe:

wibiya widget

Cursor

Minggu, 03 Februari 2013

Sang Penjaga: The Beginning

2 tahun yang lalu, aku menjalani masa-masa paling kelam yang pernah kujalani. Aku adalah seorang biasa yang tak punya keahlian spesial dan berasal dari keluarga yang biasa pula. Aku tak pernah menyangka akan masuk ke dunia ini, dunia dimana tidak ada yang bisa dipercaya. Namaku Adam, Sang Penjaga.

Malam itu, aku sedang mencari peruntungan dengan menjadi buruh angkut barang di pelabuhan. Upah yang ku terima hanya sekitar 15 SP(Sporat). Ya, aku tinggal di sebuah negeri yang tidak pernah tercatat di peta maupun dalam sejarah. Negeriku bernama Delimith. Kota tempat ku tinggal ialah Drakeran. Kota yang cukup indah dengan pemandangan pantainya dan bangunan kastil diatas bukit yang menjadi tempat tinggal para bangsawan. Sedangkan bagi kami kaum kecil, negeri ini hanyalah sebuah tempat untuk berperang. Melawan rasa lapar setiap harinya. Biasanya raja kami, King Eladron membagikan rangsum makanan secara cuma-cuma di alun-alun kota setiap minggu. Tapi sudah 3 minggu terakhir ia tak pernah tampak. "Ada sesuatu yang tidak beres" pikirku.

Esoknya, sinar mentari pagi membangunkan saraf-saraf lemahku. Kugerakkan jari-jariku berharap dapat mengambil sedikit kehangatannya untuk kusimpan dalam sanubariku yang lemah ini. Suara letusan senjata menghentakkan ragaku segera bangkit. Kulihat diujung pelabuhan, seorang pria tua terkapar tak berdaya dengan luka tembak di dadanya.

"Ayah! itu ayahku! kenapa dia?" kupacu tubuh ini menghampiri jasad ayahku yang telah tak bernyawa. Air mata meleleh di pipiku. Walaupun aku kurang dekat dengan ayah, tapi ia tetaplah ayahku. Seorang yang kuhormati karena di usianya yang renta, ia tak pernah berhenti bekerja. Bahkan di tengah malam ia keluar rumah untuk bekerja.

"Siapa yang melakukan ini?" kulihat sekitar. Ada seorang pria berlari menjauhi tempat ini. Pria itu mengenakan jubah merah yang mencolok dan tudung kepala, serta kulihat sekilas di ikat pinggangnya tergantung sebuah senapan. "Itu pasti dia!" teriakku dalam hati.

Setelah penguburan ayah, kuberanikan diri untuk masuk ke kamar ayah, tempat yang selama ini terlarang untukku. Kamar yang sama sederhananya denganku, sebuah dipan, lemari pakaian, meja tulis, dan apa ini? sebuah vas bunga berisi banyak gulungan kertas. Kucoba membuka salah satu gulungan itu, isinya tulisan yang tak kumengerti. huruf dan angka yang berantakan penulisannya. "Aku pun bisa menulis ini saat berumur 5 tahun." kataku.

"Benarkah itu? kau dapat menulisnya?" sesorang mengagetkanku. Suara yang tak asing lagi. "King Eladron", sedang apa ia disini?
"Paduka, maafkan hamba telah lancang, tapi apa yang hendak paduka lakukan di tempat kami?"
"Ikutlah denganku, nak. Kumpulkan gulungan-gulungan kertas itu dan masukkan dalam sebuah peti, lalu temui aku di luar."
"B.. B.. Baik paduka raja."
"Dan berhenti memanggilku paduka, panggil aku Elad." katanya sembari meninggalkanku.

Aku diajak mengelilingi kota. Aku tak tahu akan dibawa kemana. Tapi aku yakin, King Eladron punya maksud tertentu, sehubungan dengan menghilangnya ia belakangan ini.
Aku diajak masuk ke sebuah gang, di belakang toko penjual buah. Ada sebuah dinding batu yang tinggal setengah, mungkin hancur terkena gempa. King Eladron membungkuk dan mendorong salah satu dari batu tersebut, dan tiba-tiba tanah di depan kami bergeser ke bawah lalu ke sebelah kiri. Membuka sebuah jalan dari batu yang menurun kedalam ruang bawah tanah.
"Selamat datang di rumah, Adam. Mari masuk" kata King Eladron.
Aku mengikuti saja perintah orang tersebut. Aku yang bukan siapa-siapa, kenapa ia begitu dekat denganku? seakan kita sudah berteman lama.

Sesampainya di sebuah ruangan yang luas, ada sebuah meja besar di tengah ruangan. Diatasnya terletak peta negeri kami, Delimith yang menutupi lebih dari separuh luas meja. Di sekeliling ruangan terdapat lukisan, lemari kaca berisi puluhan buku, dan ada semacam penggantung senjata. Ada pedang, tombak, kapak, dan senapan disana. Dan senapan itulah yang kulihat menggantung di pinggang pembunuh ayahku.
"Kau mengenali senapan itu, Adam?" kata King Eladron.
"Aku sempat melihat pembunuh ayahku membawa senapan itu. Ia memakai jubah merah. Apakah paduka tahu sesuatu tentang ciri-ciri orang itu?"
"Ia mungkin salah seorang anggota jubah merah, biasa disebut Red Cloack. Senapan seperti itu hanya sedikit  yang memilikinya, dan bukanlah oran sembarangan. Biasanya pejabat atau perkumpulan rahasia." papar King Eladron.

"Kau membawa surat-surat ayahmu kan? coba buka petinya dan letakkan surat itu di meja ini." perintah King Eladron.
"Baik, paduka." aku pun membuka peti itu dan mengeluarkan isinya keatas meja. Tanpa sengaja terjatuh sebuah cincin bermata hijau menyala dengan dasar dari emas.
"Pakailah, itu milikmu." kata King Eladron. Dengan ragu kupakai cincin itu. Benarkah ini milikku? aku tak pernah menyangka.
"Kau tahu, surat-surat ayahmu itu adalah salinan resmi dari dokumen bersejarah milik kota ini. Tentu sudah dipecah menjadi kode agar tak bisa dibaca sembarang orang. Ketahuilah, Adam. Ayahmu sebenarnya memiliki peran penting untuk kota ini. Ia adalah seorang Penjaga. Santo Sang Penjaga, itulah nama aslinya. Ia bertugas menjaga dokumen ini apabila terjadi sesuatu dengan dokumen aslinya, maka tersedia cadangannya. Tak kusangka ada yang mengincar sang penjaa selama ini. Itulah alasan aku tidak tampil di muka umum belakangan ini. Aku sedang menyelidiki siapa yang merencanakan ini semua. Dengan ini kau resmi menjaga penerus ayahmu. Adam Sang Penjaga, itulah namamu sekarang. Gantilah pakaianmu dengan baju di kamar itu, dan temui aku di istana secepatnya." 
Penjelasan King Eladron membuatku terpana. Aku hanya menganggukkan kepala tanpa pikiran yang pasti. King Eladron meninggalkanku sendirian di tempat ini, yang menjadi rumah baruku.

Kumasuki kamar yang ditunjuk King Eladron tadi dan menemukan satu set pakaian lengkap dengan senjata. Segera kukenakan pakaian tersebut. Sebuah baju zirah ringan dari baja dengan pelat baja tebal di bahu, dan lengan. Celana baja tipis dan sepatunya sangat pas untuk ukuran kakiku. Sebuah pedang panjang kugantung di ikat pinggang, dan pisau kecil sebanyak enam buah kuselipkan di kantung khusus di lengan. Tak lupa sebuah senapan ringan terletak manis di pinggang. Kubawa surat yang ada di meja menuju istana. Inilah aku sekarang, seorang penjaga.

-Bersambung-

0 Komentar:

Posting Komentar